Laman

Thursday, November 1, 2012

Saat Hati Digadai Damai

Saat alkohol merasuk sela-sela kepala,
diantar gambar lelaki tua
kami bernyanyi soal damai.

Saat berkumpul bersenda,
buku ilmu rasanya jadi tumpukan sampah berbau.

Saat radio jadi bahan cakap-cakap,
saat tersenyum mengisi lawakan biasa,
saat itu kami tahu..

Hidup cukup diisi dengan tertawa.

Dan waktu lagu-lagu tak henti dipacu,
cinta kasih juga rindu,
dari amerika sampai binaria.
Dari bensin sampai anggur,
sudah cukup buat kami
yang diperintah orang mati.

Dari Gombloh sampai Lennon menyambung,
alami,
terus mengisi hati-hati kesepian.

Berbatang-batang rokok habis diborong,
pada ujung-ujung badan kosong.

Rasanya selalu kurang saat berkejaran dalam kedamaian,
di sela-selanya selalu ada rasa rindu pada botol-botol candu.

Saat alkohol merasuk sela-sela kepala,
diantar gambar lelaki tua
kami bernyanyi soal damai

Soal imaji, cinta, senyuman
dan ciuman pertama.

Saat itu..

Kami tahu bahwa kami
rela menggadaikan hati demi damai.

Oleh Adji Putusetia

Ditulis 26 Oktober 2012
Yogyakarta

Wednesday, November 30, 2011

Titik



Setitik tanda itu yang selalu membuatku bertanya, sempurnakah dirimu? Hal yang selalu mengusik namun dengan sangat terpaksa harus kukubur di sudut terdalam buku merahku. Ini semua bukan pilihan melainkan kenyataan. Takdir yang sejak lalu aku tak pernah mau percaya padanya, kali ini kupatahkan juga. Ini pasti kehendak Tuhan. Aku bersyukur Ia memindahkan titik itu sedikit lebih ke atas, walaupun tidak pernah benar-benar menghilang.

Kau yang melegam karena terpanggang kejayaan masa lalu, katamu, terjemur dan kering, tak sedikitpun air di sana, tak sepercikpun. Katamu lagi, aku yang meneduhimu, meskipun baru sejurus saja. Namun kelebatan-kelebatan itu masih saja menyayat cepat, kecil-kecil. Berebut berlarian mengelilingi menawarkan payung. Maaf, kawan sekelaminku, tapi aku punya tenda. Apakah kau akan berlari keluar dari bayanganku ini jika kelebatan itu menawarkanmu gubuk? Lalu lompat saat mereka menawarkan rumah? Lalu apartemen? Lalu kembali aku bertanya, akan sempurnahkah dirimu?

Gradasi itu sangat mencolok, antara manisnya luka berubah membaur di tengah dengan liarnya hilir. Payau lagi favoritku, seperti semua mahkluk berjenis kelamin sama denganku. Benar, benar sekali, keindahanmu mengalir laksana sungai yang beninig dari gunung lalu mengeruh di pemukiman. Aku yang baru sampai di jeram pertama, menikmati goncangan syahdu kapal karetku. Itu candu bagiku.

Bagai pemancing yang merindukan kesenyapan telaga. Aku, merindukan kesatiran wajahmu. Tak sabar ingin segera mengempas joran, melempar umpan serta kail baruku, memancing kerinduan dari jernih matamu. Menyiuk senyuman dari legit bibirmu, lalu segera memasang layar dan mengarungi samudera hatimu.

Gemunung beserta demitnya tak menggetarkan hatiku pun tak menggeser pijakanku dari tanah yang baru kupijak. Meski ekor ini masih menghantui, seiring kedewasaanku, akan pupus juga dirayap waktu. Hanya ada darah dalam sembiluku ini, bukan cinta. Mendesah dan mencoba kelu, tapi toh aku terdengar juga.

Akan kudaki segala tebing tercuram, kuseberangi lima samudera. Lalu berkat semua itu, akan kunira semua peluhku, lalu kupersembahkan ke depan pintu hatimu. Sebagai tanda bahwa aku ada untukmu. Meskipun tercampur pasir dan garam, tapi terimalah itu semua sebagai bukti perjuanganku untukmu, Adindaku.

oleh Bimo S. Hutomo

Catatan Rahasia: Cinta 120 Kilometer

Mendung seberat ini rasanya dapat menjatuhkan bertriltun-trilyun kubik kesedihan dalam sekali siram saja. Pahit, sangat pahit. Lalu kau, yang telah kuanggap sebagai anggota tubuhku, mataku, hidung, segala inderaku ternyata. Dan aku telah menyadari itu semua sejak pertama aku mencintaimu, sehingga kini, itu semua masih menjadi bagian dalam hidupku. Tanpa kurang sesuatu apapun. Dan aku, tetap mencintaimu sama seperti aku yang dulu masih berusia lima belas tahun. Kala itu Januari, ya Januari. Hujan selalu mengguyur kita berdua membasahi hati kita yang dulu masih saling mencinta.

Maka jika kau bertanya seperti apakah perasaanku saat itu kepadamu? Sama seperti saat ini. Cintaku tetap penuh padamu. Kala itu, saat aku berusia lima belas tahun. Januari, hujan selalu mengguyur kota kita. Sama seperti saat ini. Hujan mengguyur tubuhku hingga lepek. Seratus dua puluh kilometer jauhnya dari tempat kita mencinta. Duduk di depan pintu jalan bebas hambatan. Bersumpah dalam hati, menyumpahi diri sendiri. Memikirkan cara terbaik untuk mati. Mengemis-ngemis lalu meratapi. Mencoba mencari jalan untuk kembali. Padahal sejatinya, aku tidaklah pernah pergi. Selama dua setengah jam ini, seratus dua puluh kilometer jauhnya dari kota kita. Hujan mengguyur lagi.

Kala itu Januari, saat aku berumur lima belas tahun, kau pun lima belas tahun. Aku yang datang dengan jaket norakku, tersipu malu ketika melihat kau berdiri di samping pilar kecil sekolah kita. Pipimu merona merah saat itu, selalu jika kau malu atau tersipu. Kau sungguh seorang gadis kecil pujaanku kala itu. Hujan masih saja mengguyur kota kita setiap pagi. Satiap kau dan aku datang lebih awal hanya untuk memperbincangkan apa yang kita lakukan di rumah. Hanya untuk mengucap “aku cinta kamu” dengan amat kaku atau saling menghirup aroma parfum di sweater masing-masing. Atau hanya berpegangan tangan dengan canggung, terkadang terlihat lebih seperti bersalaman bukan berpegangan tangan.

Hujan masih mengguyur kota kita setiap kita pulang sekolah, aku ingat betul saat itu. Kau selalu membawa payung merah jambu bertuliskan “Belleza” dengan corak bunga warna putih yang belakangan aku tahu bahwa itu merupakan payung hadiah dari parfum. Aku ingat betul tentang rute pulang favorit kita, lewat gang-gang sempit. Saat melewati gang sempit itu, kita berjingkat menghindari kotoran kucing sambil bergandengan tangan dan menikmati dinginnya udara sore sehabis hujan. Terkadang kita berciuman di gang itu saat tidak ada yang melihat. Entah apa yang merasuki pikiran kita hingga sangat menyukai gang tersebut sampai-sampai kita lewat situ setiap hari padahal kita sama-sama tahu jika rute itu adalah rute memutar. Sekaluarnya dari gang sempit itu, kau sering mengajakku ke toko bernama sangat aneh, ‘Oyen’. Aku tidak pernah mau masuk ke toko itu. Malu, kataku saat itu, itu ‘kan toko aksesoris anak perempuan.

Hujan masih saja mengguyur kota kita bahkan hingga telah naik angkutan kota. Kita selalu berdebat, apakah naik angkutan jurusanmu, ataukah jurusanku. Aku bersikukuh ingin naik angkutan jurusanmu dan mengantarmu pulang tetapi kau sebaliknya. Tentu saja aku yang selalu menang. Kita selalu saja mengambil tempat paling ujung agar dapat terus ‘bersalaman’. Segala jenis perbincangan kita lakukan dalam angkutan yang diguyur hujan kala itu. Ingatkah kau akan jembatan itu? Jembatan yang saat angkutan yang kita tumpangi lewati, kita berciuman di bawah kerangka kokohnya.

Angkutan akan terus melaju hingga rental film kesukaan kita. Rental yang jika tutup dapat membuat kita berdua kecewa setengah mati padahal tak pernah ada niat kita untuk ke sana. Lalu ingatkah, sebelum kita berpisah, kita akan saling memandang wajah masing-masing agar dapat diingat-ingat kembali sesampainya di rumah. Dulu, saat kita berpisah sehari saja, katamu, terasa bagai setahun.

Ingatkah kau tentang botol kecil yang berisi harapan-harapan kita, kotak kenangan kita, catatan harian rahasia kita, rumus matematika yang kau tulis untukku, gambar tank serta banyak lainnya di buku sketsa pemberianmu, daun kering pembatas buku, bola softball, boneka-boneka empuk, aroma parfum masing-masing, SMS-SMS yang kau dan aku simpan, bintang-bintangan dari kertas, gantungan telepon genggam, kaus couple kita, motor serta helm merah, gantungan kucing yang tak pernah sempat kau beli, payung Miki Tikusmu yang hilang, album foto kecil dengan stiker-stiker di sampulnya. Ingatkah kau, akan aku yang hingga saat ini masih mengingatmu satiap hari? Ingatkah kau akan aku yang masih saja menangisi rencana gagalku setiap malam hingga lelah lalu tertidur? Ingatkah, akan janji-janji serta puisi-puisi, serta sumpah-sumpah yang kau ucapkan? Padaku dan dunia, yang membuatku yakin akan hari esok, saat kita bersama lagi.

Kini tak akan ada lagi hari esok. Tak kuat lagi aku menulis catatan pendek ini. Aku tak mau membuat buku hitamku lepek karena air mata yang tak kunjung berhenti mengalir. Aku harap kau mengerti seperti apa perasaanku terhadapmu. Masih adakah ruang hatimu untukku?

Seribu empat belas hari sejak aku mencintaimu...

oleh Bimo S Hutomo