"Dear, malam kelabuku. Tidak kurang seribu kata syukur setiap malam kuucapkan atas kesediaanmu memberikan sedikit waktu di saat terakhirmu untuk kukuasai. Kau sama, di rumah maupun di sini, sekarang. Sudah tiga hari aku di sini..", aku memutuskan untuk berhenti menulis di buku hitamku.
.........
Brengsek, bosan betul rasanya di negara ini. Kalau bukan karena ayahku yang memintaku untuk membantu mengurus cabang di sini aku mungkin tidak akan pernah ke sini. Bahkan sebelumnya tidak pernah aku mendengar ada negara bernama seaneh negara ini. "Indonesia". Geli aku mendengarnya.
".... Ya, malamku, aku ada di Indonesia. Pernahkah kau tahu negara macam apa Indonesia itu?..."
Sial, bahkan untuk menulis pun aku tidak mendapatkan inspirasi sama sekali di sini! Mungkin berjalan-jalan sedikit akan kembali menyegarkan pikiranku.
Aku menarik napas panjang lalu segera bangkit dari kursi yang sedari tadi kududuki. Mantel hijau toska yang sudah tiga hari--sejak aku sampai di sini-- menggantung di belakang pintu kukenakan kembali. Tiga hari ini aku tidak pernah keluar dari gedung cabang. Aku hanya sedikit melihat keadaan negara ini saat dalam perjalanan dari bandara menuju ke gedung cabang.
Aku menyusuri lorong berdinding beton sembil mencoba mengikuti petunjuk tanda bertulisan EXIT. Petugas keamanan menyapaku dengan senyum yang dibuat-buat saat aku keluar melalui pintu belakang gedung. Udara dingin langsung menerpaku saat aku meninggalkan hembusan hangat Air Curtain. Sambil menaikkan kerah mantel aku menuruni tangga keramik yang ternyata cukup licin karena hujan tadi sore. Kulirik Rolex Submarinerku, pukul 01.00.
Malam sudah larut, tetapi trotoar masih cukup ramai oleh beberapa gelandangan yang bersiap untuk tidur. Kulewati mereka sambil melemparkan senyum, tanggapannya kurang baik. Mereka dengan ekspresi yang sulit ditebak hanya memandangku dengan kosong. Bolong saja seakan aku tidak ada. Satu hal yang membuatku sangat tertarik dengan mereka, tangan mereka sangat bersih dan halus. Bukan tangan gelandangan yang kotor dan penuh luka sana-sini. Sebuah tanda tanya besar bagiku.
Aku berbelok ke sejulur jalan kecil dengan rumah-rumah sederhana di kiri-kanannya. Bau tidak sedap menyebar dari selokan dangkal yang macet karena sampah. Busuk benar baunya. Kututup hidungku sambil terlus melanjutkan langkahku. Jalan kecil ini berujung pada sebuah lapang berlapis beton. Logo 'PB Gang Kancil' terstensil dengan asal di atasnya. Kakiku mulai terasa sedikit pegal hingga aku menemukan sebuah kursi panjang dari bambu. Cukup nyaman. Mungkin aku bisa mempertimbangkan untuk membuat satu untuk halaman rumahku.
Sayup-sayup kudengar suara orang berteriak-teriak di kananku. Shoot. Ternyata suara televisi dari rumah di sebelah kananku. Jendelanya cukup lebar dan bening hingga aku dapat melihat dengan jelas di dalamnya seorang wanita paruh baya bersama anak perempuannya sedang menonton sesuatu--yang kurasa adalah drama picisan, atau opera sabun? Wow. Tak pernah kutemui drama macam ini. Pemainnya terlihat grogi dan sangat tidak natural. Lucu benar. Drama murahan membuatku sedikit muak. Karena itu aku memutuskan untuk melanjutkan perjalananku.
Pukul 02.13. Aku baru sampai di sebuah perepmpatan jalan yang cukup besar ketika melihat seseorang berstelan jas hitam-hitam duduk di pinggir jalan. Ketika kudekati ternyata ia adalah seorang pengemis. Ya, seorang pengemis yang tidak terlihat seperti pengemis. Rapi sekali pakaiannya, wangi pula. Di dadanya tersemat sebentuk emblem burung--yang kurasa rajawali--dengan tulisan 'DPR-RI'. DPR-RI? Organisasi pengemis mungkin. Tunggu sebentar, kepala orang ini sedikit menggembung dan terlihat ringan sekali bagai balon gas. Benar, kepalanya hanya diisi angin. Kalau begitu dimanakah otaknya?
Pukul 02.35. Di bawah lampu lalu lintas, seorang gadis yang mengenakan kemeja putih bersaku cokelat serta rok pendek berwarna abu kebiruan terlihat menjajakan daging. Gadis itu kurus, sangat kurus. Anehnya, daging yang ia jajakan adalah daging busuk yang sudah menghitam. Apa yang ia pikirkan hingga mau menjual daging busuk macam itu? Dinihari pula.
Kuputuskan untuk kembali karena pagi sebentar lagi akan terbit.
.............
Saat menggantung mantel di belakang pintu, aku teringat dengan catatan yang tadi tidak sempat kuselesaikan.
...."Kuberitahu, Indonesia itu.. ah sulit sekali kuceritakan. Kurasa Indonesia adalah negeri yang tidak sengaja Tuhan ciptakan. Mungkin sekarangpun Tuhan tidak pernah ingat pernah menciptakan negeri ini. I don't give a shit. Yang jelas aku lelah sekali saat ini. Terima kasih sekali lagi telah memberikan waktumu padaku, malamku sayang. Semoga esok kita bertemu lagi."
Kututup catatan hitamku, pun mataku.
(hanya sebuah imajinasi kecil di sudut pikiranku)
penulis: bimo.s.hutomo
ditulis pada 12 Desember 2009
.........
Brengsek, bosan betul rasanya di negara ini. Kalau bukan karena ayahku yang memintaku untuk membantu mengurus cabang di sini aku mungkin tidak akan pernah ke sini. Bahkan sebelumnya tidak pernah aku mendengar ada negara bernama seaneh negara ini. "Indonesia". Geli aku mendengarnya.
".... Ya, malamku, aku ada di Indonesia. Pernahkah kau tahu negara macam apa Indonesia itu?..."
Sial, bahkan untuk menulis pun aku tidak mendapatkan inspirasi sama sekali di sini! Mungkin berjalan-jalan sedikit akan kembali menyegarkan pikiranku.
Aku menarik napas panjang lalu segera bangkit dari kursi yang sedari tadi kududuki. Mantel hijau toska yang sudah tiga hari--sejak aku sampai di sini-- menggantung di belakang pintu kukenakan kembali. Tiga hari ini aku tidak pernah keluar dari gedung cabang. Aku hanya sedikit melihat keadaan negara ini saat dalam perjalanan dari bandara menuju ke gedung cabang.
Aku menyusuri lorong berdinding beton sembil mencoba mengikuti petunjuk tanda bertulisan EXIT. Petugas keamanan menyapaku dengan senyum yang dibuat-buat saat aku keluar melalui pintu belakang gedung. Udara dingin langsung menerpaku saat aku meninggalkan hembusan hangat Air Curtain. Sambil menaikkan kerah mantel aku menuruni tangga keramik yang ternyata cukup licin karena hujan tadi sore. Kulirik Rolex Submarinerku, pukul 01.00.
Malam sudah larut, tetapi trotoar masih cukup ramai oleh beberapa gelandangan yang bersiap untuk tidur. Kulewati mereka sambil melemparkan senyum, tanggapannya kurang baik. Mereka dengan ekspresi yang sulit ditebak hanya memandangku dengan kosong. Bolong saja seakan aku tidak ada. Satu hal yang membuatku sangat tertarik dengan mereka, tangan mereka sangat bersih dan halus. Bukan tangan gelandangan yang kotor dan penuh luka sana-sini. Sebuah tanda tanya besar bagiku.
Aku berbelok ke sejulur jalan kecil dengan rumah-rumah sederhana di kiri-kanannya. Bau tidak sedap menyebar dari selokan dangkal yang macet karena sampah. Busuk benar baunya. Kututup hidungku sambil terlus melanjutkan langkahku. Jalan kecil ini berujung pada sebuah lapang berlapis beton. Logo 'PB Gang Kancil' terstensil dengan asal di atasnya. Kakiku mulai terasa sedikit pegal hingga aku menemukan sebuah kursi panjang dari bambu. Cukup nyaman. Mungkin aku bisa mempertimbangkan untuk membuat satu untuk halaman rumahku.
Sayup-sayup kudengar suara orang berteriak-teriak di kananku. Shoot. Ternyata suara televisi dari rumah di sebelah kananku. Jendelanya cukup lebar dan bening hingga aku dapat melihat dengan jelas di dalamnya seorang wanita paruh baya bersama anak perempuannya sedang menonton sesuatu--yang kurasa adalah drama picisan, atau opera sabun? Wow. Tak pernah kutemui drama macam ini. Pemainnya terlihat grogi dan sangat tidak natural. Lucu benar. Drama murahan membuatku sedikit muak. Karena itu aku memutuskan untuk melanjutkan perjalananku.
Pukul 02.13. Aku baru sampai di sebuah perepmpatan jalan yang cukup besar ketika melihat seseorang berstelan jas hitam-hitam duduk di pinggir jalan. Ketika kudekati ternyata ia adalah seorang pengemis. Ya, seorang pengemis yang tidak terlihat seperti pengemis. Rapi sekali pakaiannya, wangi pula. Di dadanya tersemat sebentuk emblem burung--yang kurasa rajawali--dengan tulisan 'DPR-RI'. DPR-RI? Organisasi pengemis mungkin. Tunggu sebentar, kepala orang ini sedikit menggembung dan terlihat ringan sekali bagai balon gas. Benar, kepalanya hanya diisi angin. Kalau begitu dimanakah otaknya?
Pukul 02.35. Di bawah lampu lalu lintas, seorang gadis yang mengenakan kemeja putih bersaku cokelat serta rok pendek berwarna abu kebiruan terlihat menjajakan daging. Gadis itu kurus, sangat kurus. Anehnya, daging yang ia jajakan adalah daging busuk yang sudah menghitam. Apa yang ia pikirkan hingga mau menjual daging busuk macam itu? Dinihari pula.
Kuputuskan untuk kembali karena pagi sebentar lagi akan terbit.
.............
Saat menggantung mantel di belakang pintu, aku teringat dengan catatan yang tadi tidak sempat kuselesaikan.
...."Kuberitahu, Indonesia itu.. ah sulit sekali kuceritakan. Kurasa Indonesia adalah negeri yang tidak sengaja Tuhan ciptakan. Mungkin sekarangpun Tuhan tidak pernah ingat pernah menciptakan negeri ini. I don't give a shit. Yang jelas aku lelah sekali saat ini. Terima kasih sekali lagi telah memberikan waktumu padaku, malamku sayang. Semoga esok kita bertemu lagi."
Kututup catatan hitamku, pun mataku.
(hanya sebuah imajinasi kecil di sudut pikiranku)
penulis: bimo.s.hutomo
ditulis pada 12 Desember 2009
No comments:
Post a Comment