Saputangan putih itu tergantung di saku belakang jeansku.
...........
Ini adalah kali pertama aku merasakan sesak, sangat sesak, tetapi bukan di dada. Perih mataku menahan kristal mata. Air mata yang beku setelah sekian lama tertahan.
...........
Kereta berlokomotif merah itu hampir meninggalkan peron sembilan. Peluit telah ditiupkan. Asap mengepul. Dua belas gerbong beriringan menjauhiku. Kenapa? Padahal 'hanya' dua belas! Kapan mereka akan menggenapinya jadi lima belas? Kapan jadi dua puluh?
...........
Gerbong terakhir adalah yang paling besar. Sebelum gerbong itu benar-benar meninggalkan peron sembilan, kunikmati setiap lekuknya. Rodanya mengingatkanku pada kemeriahan gerbong satu, dua, tiga. Gandarnya mengingatkanku pada ketenangan gerbong empat, lima, enam. Sepurnya mengingatkanku pada kebahagiaan gerbong tujuh, delapan, sembilan. Rantainya mengingatkanku pada kemesraan gerbong sepuluh, sebelas, dan dirinya.
...........
Rel mengerucut prespektif dengan kereta yang sudah benar-benar meninggalkanku di puncaknya. Ramai di sini, tapi tak ada yang peduli. Hanya aku yang kehilangan si lokomotif merah. Tak ada yang bisa kulakukan selain berharap kereta berikut memiliki gerbong lebih banyak.
...........
Kereta berlokomotif biru sampai di peron sepuluh tepat saat kereta berlokomotif merah hilang dari pandangan. Masih baru dan bergairah. Mengecewakan. Kereta baru ini memiliki bentuk dan panjang rangkaian yang sama. Orang-orang bersukacita memasuki gerbong-gerbong yang ditarik si lokomotif biru.
...........
Aku tak punya pilihan lain selain masuk ke kereta berlokomotif biru dan mulai mencoba mencintainya. Mudah-mudahan di peron berikutnya akan ada kereta tiga belas gerbong.
...........
,,,,,,,,,,,

penulis: bimo.s.hutomo
ditulis pada 13 Desember 2009
...........
Ini adalah kali pertama aku merasakan sesak, sangat sesak, tetapi bukan di dada. Perih mataku menahan kristal mata. Air mata yang beku setelah sekian lama tertahan.
...........
Kereta berlokomotif merah itu hampir meninggalkan peron sembilan. Peluit telah ditiupkan. Asap mengepul. Dua belas gerbong beriringan menjauhiku. Kenapa? Padahal 'hanya' dua belas! Kapan mereka akan menggenapinya jadi lima belas? Kapan jadi dua puluh?
...........
Gerbong terakhir adalah yang paling besar. Sebelum gerbong itu benar-benar meninggalkan peron sembilan, kunikmati setiap lekuknya. Rodanya mengingatkanku pada kemeriahan gerbong satu, dua, tiga. Gandarnya mengingatkanku pada ketenangan gerbong empat, lima, enam. Sepurnya mengingatkanku pada kebahagiaan gerbong tujuh, delapan, sembilan. Rantainya mengingatkanku pada kemesraan gerbong sepuluh, sebelas, dan dirinya.
...........
Rel mengerucut prespektif dengan kereta yang sudah benar-benar meninggalkanku di puncaknya. Ramai di sini, tapi tak ada yang peduli. Hanya aku yang kehilangan si lokomotif merah. Tak ada yang bisa kulakukan selain berharap kereta berikut memiliki gerbong lebih banyak.
...........
Kereta berlokomotif biru sampai di peron sepuluh tepat saat kereta berlokomotif merah hilang dari pandangan. Masih baru dan bergairah. Mengecewakan. Kereta baru ini memiliki bentuk dan panjang rangkaian yang sama. Orang-orang bersukacita memasuki gerbong-gerbong yang ditarik si lokomotif biru.
...........
Aku tak punya pilihan lain selain masuk ke kereta berlokomotif biru dan mulai mencoba mencintainya. Mudah-mudahan di peron berikutnya akan ada kereta tiga belas gerbong.
...........
,,,,,,,,,,,

Ini adalah Desember, aku berada di gerbong dua belas kereta berlokomotif merah. Ini adalah kali terakhir aku melihat si lokomotif merah.
penulis: bimo.s.hutomo
ditulis pada 13 Desember 2009
No comments:
Post a Comment