Laman

Tuesday, February 23, 2010

Kepada Wilaga

Kepada Wilaga dan batu-batu karang yang kamu duduki di tepi laut,

Tapi malam menamparku kemarin, dengan tangan tangannya yang biru beku dan busa-busa awan yang mencolok-colok mata. Apalah itu dingin jika sedari tadi kamu mempretelinya dengan secawan teh hangat? Apalah gunanya sepi jika sedari tadi kamu menggaulinya dengan rupa-rupa raut wajah?

Aku mencatat ini kata sembari menggigiti jari, mengusap liar rambut dan mencoreng-coreng mimik sendiri dengan tinta abu. Sebagai jeda, aku buat sketsa wajahmu di atas air kolam. Aku gurat tanah-tanah di kebun belakang supaya menyerupai guratan pipimu kala tersenyum. Aku colong bintang-bintang yang kamu lupa bawa pulang kemarin malam.

Sebenarnya, terlalu kaya semua yang ada di kamu, meraung-raung gahar untuk aku catat di sini. Mereka kadang mencubitku dengan cakarnya yang lancip sejurus, seolah berkata: “Catat saja aku terlebih dulu!”
Aaaah! Aku linglung betul tentang ratusan kata yang meninju-ninju pikiran untuk segera dicatat di sini! Mereka seolah berkelahi garang, saling menghunus-hunus mata pedang: “Enyah kau! Biar aku saja yang mewakilkannya!”

Begitulah kiranya, Wil. Banyak kemewahan riil yang aku tangkap dari sudut kerangka-kerangkamu. Banyak metafora santun yang aku kumpulkan dari lengkung lucu bibir merahmu. Banyak belasan misteri yang menggiur untuk aku telanjangi pikirmu. Kini semuanya menabrakku dalam satu tiup, buuuuuzzzz!

Apa yang layak mewakilkanmu? Tentu bukan puisi ini, yang mungkin akan aku selipkan manja di balik tumpuk bantalmu, lalu pagi hari kamu terheran-heran dengan raut lugu bukan main.
Karena keindahan sudah jadi nama tengahmu..


Wilaga, aku mengenalmu lewat desahan air lautmu. Sungguh..

ditulis oleh Bardjan Triarti

No comments:

Post a Comment