Satu:
Selalu aku teringat kala itu, kala aku mengantarkanmu ke mulut gang gelap itu. "Aku berani sendiri," katamu saat kutanya "Maukah kau kuantar lebuh dalam lagi?" Benarkah kau berani sendiri? Atau kau berharap tidak akan bertemu aku lagi? Apapun jawabanmu hanya akan menghancurkan harapanku berkeping-keping.
Semua ingatan tentangmu hanya mengantarkanku ke tempat yang sama, kehampaan. Raga kita begitu dekat, sedekat Tuhan dan urat nadi, tetapi hati kita begitu jauh, bahkan untuk seorang pengembara sahara.
Spasi ini kau yang ciptakan,
Dua:
"Aku bisa sendiri," jawabmu.
"Mau ku sinari?" tanyaku lagi.
"Tidak usah, aku berani,"
Percakapan itu yang selalu aku sembunyikan dari hatiku. Ia tak boleh tahu.
"Cukup segitu saja," jawabmu.
"Tidak mau tambah?" tanyaku lagi.
"Tidak usah, aku kuat,"
Ingatan itu yang selalu aku coba untuk hapuskan.
Kau yang membuat spasi. Bukan satu, seribu spasi. Aku tahu hatimu sangat ingin menghapus spasi itu. Aku tahu, rantaiku yang menghilangkan niatmu untuk itu.
Sadarkah kau? Saat aku menatap matamu, terjadi percakapan antara hati kita. Hatimu selalu mengatakan, "Aku menginginkanmu." Aku tahu itu.
Sadarkah kau? Sejuta pertemuan bisu yang kita lakukan menghasilkan jutaan halaman dialog antara hatiku dan hatimu.
Aku, masa lalu, kau, masa lalu, aku, masa kini, kau, masa kini, aku, masa depan, kau, masa depan. Kita semua begitu dekat.
Mengapa kau hembuskan api yang begitu dingin di luar, tetapi membakar di dalam?
Saat ini, kau menatapku dengan tatapan khasmu. Sayu, kelu. Tak dapat kau sembunyikan dariku cintamu terhadapku. Maka pecahkanlah kesunyian ini. Tolong, teriaklah sekali saja, tapi sekuat tenaga. Sepanang napas yang dapat kau hela. Kuras seluruh isi hatimu hingga kerinduanmu akanku lunas tuntas. Lalu peluk aku, teteskan aku dengan air mata rindumu. Basuh aku dengan cintamu.
Tapi sudahlah, kau tidak akan pernah seperti itu. Mungkin ini caramu mengungkapkan cintamu kepadaku. Dan sekarang aku mengerti.
Cumbu aku dengan bisumu. Aku cinta kau dan diammu.
Ini gelap, mau kuantar lebih dalam?
Tidak usah, aku bisa sendiri.
Tiga:
Yang terakhir kali kuingat sebelum aku menulis ini,
sebelum mati.
Hari itu hujan, di mulut gang yang gelap itu kau berlalu, tak melirikku sejuruspun. Tak kupandangi kau hingga menghilang seperti biasa. Aku langsung memutar, pulang. Saat itu aku membunuh diriku sendiri.
Kita sering bercakap tentang hidup masing-masing. Tentang aku dan rantaiku. Tentang aku kau dan jeruji besarmu -- yang sekarang kabur meninggalkanmu. Padahal jeruji itu kuat, kokoh, teguh. Berbanding terbalik dengan rantaiku yang tipis lagi rapuh -- tapi tak pernah bisa aku kabur darinya. Kau bilang tak apa. Aku gagah dengan rantaiku, katamu. Tahukah kau? Ini mulai mencekikku seiring waktu berlalu. Kau juga sering menasehatiku untuk selalu melumasi rantaiku agar tidak berkarat. Agar selalu kuat.
Kurasa percakapan tentang semua ini merupakan satu omong kosong besar. Aku selalu mengharapkan kebersamaan kita diisi dengan kebisuan. Diam. Memandangi diri satu sama lain. Bercumbu lewat hati, bukan lewat janji. Menjadikan bisu sebagai candu, kelu sebagai madu. Tapi percakapan ini merupakan satu-satunya cara agar kita tetap bersama. Bersua. Tidak mungkin ada aku lalu kau, tetapi di tengah-tengahnya kelu.
Aku selalu menunggu saat-saat itu, saat rantaiku berkarat lalu putus. Saat aku dapat merengkuhmu secara jasmani bukan lewat hati. Saat kau menjadi rantai, pemandu, sekaligus penjagaku. Saat kau dan aku membagi paru-paru dan menghela napas yang sama. Saat jantungku memompa darah ke urat nadimu. Saat kau dan aku melebur menjadi satu.
Tapi mustahil itu terjadi, kau telah membunuhku dengan tanganku sendiri.
ditulis oleh bimo.s.hutomo
Selalu aku teringat kala itu, kala aku mengantarkanmu ke mulut gang gelap itu. "Aku berani sendiri," katamu saat kutanya "Maukah kau kuantar lebuh dalam lagi?" Benarkah kau berani sendiri? Atau kau berharap tidak akan bertemu aku lagi? Apapun jawabanmu hanya akan menghancurkan harapanku berkeping-keping.
Semua ingatan tentangmu hanya mengantarkanku ke tempat yang sama, kehampaan. Raga kita begitu dekat, sedekat Tuhan dan urat nadi, tetapi hati kita begitu jauh, bahkan untuk seorang pengembara sahara.
Spasi ini kau yang ciptakan,
Dua:
"Aku bisa sendiri," jawabmu.
"Mau ku sinari?" tanyaku lagi.
"Tidak usah, aku berani,"
Percakapan itu yang selalu aku sembunyikan dari hatiku. Ia tak boleh tahu.
"Cukup segitu saja," jawabmu.
"Tidak mau tambah?" tanyaku lagi.
"Tidak usah, aku kuat,"
Ingatan itu yang selalu aku coba untuk hapuskan.
Kau yang membuat spasi. Bukan satu, seribu spasi. Aku tahu hatimu sangat ingin menghapus spasi itu. Aku tahu, rantaiku yang menghilangkan niatmu untuk itu.
Sadarkah kau? Saat aku menatap matamu, terjadi percakapan antara hati kita. Hatimu selalu mengatakan, "Aku menginginkanmu." Aku tahu itu.
Sadarkah kau? Sejuta pertemuan bisu yang kita lakukan menghasilkan jutaan halaman dialog antara hatiku dan hatimu.
Aku, masa lalu, kau, masa lalu, aku, masa kini, kau, masa kini, aku, masa depan, kau, masa depan. Kita semua begitu dekat.
Mengapa kau hembuskan api yang begitu dingin di luar, tetapi membakar di dalam?
Saat ini, kau menatapku dengan tatapan khasmu. Sayu, kelu. Tak dapat kau sembunyikan dariku cintamu terhadapku. Maka pecahkanlah kesunyian ini. Tolong, teriaklah sekali saja, tapi sekuat tenaga. Sepanang napas yang dapat kau hela. Kuras seluruh isi hatimu hingga kerinduanmu akanku lunas tuntas. Lalu peluk aku, teteskan aku dengan air mata rindumu. Basuh aku dengan cintamu.
Tapi sudahlah, kau tidak akan pernah seperti itu. Mungkin ini caramu mengungkapkan cintamu kepadaku. Dan sekarang aku mengerti.
Cumbu aku dengan bisumu. Aku cinta kau dan diammu.
Ini gelap, mau kuantar lebih dalam?
Tidak usah, aku bisa sendiri.
Tiga:
Yang terakhir kali kuingat sebelum aku menulis ini,
sebelum mati.
Hari itu hujan, di mulut gang yang gelap itu kau berlalu, tak melirikku sejuruspun. Tak kupandangi kau hingga menghilang seperti biasa. Aku langsung memutar, pulang. Saat itu aku membunuh diriku sendiri.
Kita sering bercakap tentang hidup masing-masing. Tentang aku dan rantaiku. Tentang aku kau dan jeruji besarmu -- yang sekarang kabur meninggalkanmu. Padahal jeruji itu kuat, kokoh, teguh. Berbanding terbalik dengan rantaiku yang tipis lagi rapuh -- tapi tak pernah bisa aku kabur darinya. Kau bilang tak apa. Aku gagah dengan rantaiku, katamu. Tahukah kau? Ini mulai mencekikku seiring waktu berlalu. Kau juga sering menasehatiku untuk selalu melumasi rantaiku agar tidak berkarat. Agar selalu kuat.
Kurasa percakapan tentang semua ini merupakan satu omong kosong besar. Aku selalu mengharapkan kebersamaan kita diisi dengan kebisuan. Diam. Memandangi diri satu sama lain. Bercumbu lewat hati, bukan lewat janji. Menjadikan bisu sebagai candu, kelu sebagai madu. Tapi percakapan ini merupakan satu-satunya cara agar kita tetap bersama. Bersua. Tidak mungkin ada aku lalu kau, tetapi di tengah-tengahnya kelu.
Aku selalu menunggu saat-saat itu, saat rantaiku berkarat lalu putus. Saat aku dapat merengkuhmu secara jasmani bukan lewat hati. Saat kau menjadi rantai, pemandu, sekaligus penjagaku. Saat kau dan aku membagi paru-paru dan menghela napas yang sama. Saat jantungku memompa darah ke urat nadimu. Saat kau dan aku melebur menjadi satu.
Tapi mustahil itu terjadi, kau telah membunuhku dengan tanganku sendiri.
ditulis oleh bimo.s.hutomo
No comments:
Post a Comment