Bayangkan. Di dalam tubuh kita terdapat kotak kecil yang berisi kotak lebih kecil dengan kotak yang paling kecil di dalamnya. Mungkin di situlah cinta bersemayam. Begitu kecil hingga terkadang tak terasa oleh kita. Terabaikan dan membusuk, tetapi cinta baru dapat tumbuh, lebih besar mungkin.
Aku ragu, cintakah yang kurasakan saat ini?
Dulu, ketika pertama tahu tentangnya, gamang, biasa sekali. Entah kapan pandangan ke arahnya mulai kucuri. Tiba-tiba cinta. Ya, ringkas kelihatannya, tetapi jika dijabarkan dapat mengalahkan kerumitan segitiga tak mungkin rekaaan Oscar Reutersvärd. Aku ingat sekali saat pertama menjalani cinta -- rasa yang orang bilang sangat sulit dilukiskan dengan kata-kata, faktanya tidaklah sesulit itu. Kalau kau pernah sekali merasakannya, kau akan teringat kembali setelah membaca ini. Bulu kuduk yang merinding senang saat melihat dia tersenyum ke arahmu. Darah yang berdesir cepat ke kepala yang membuat wajahmu merah dan terasa hangat seketika saat memikirkan dia. Hati yang serasa digelitik saat membayangkan esok akan bertemu dengannya kembali. Jantung yang berhenti sesaat jika mendengar dering telepon khas darinya. Itu yang kurasakan saat itu -- benar, apa sulitnya melukiskan perasaan macam itu ke dalam rangkaian kata-kata?
Seribu enam hari sudah aku menjalani cinta dengannya. Sebuah angka yang simpel menurut ilmu kalkulus, tetapi artinya sangat luas bagiku dan dia. Seribu enam hari seluas aku dan dia yang jika dibentang dapat meneduhi satu juta sahara. Seribu enam hari antara aku dan dia terdapat banyak kisah yang jika diarsipkan dapat membuat database Google tertunduk kalah.
Perbedaan yang begitu mencolok antara dia dengan yang lain hanya satu: dia milikku sedang yang lain bukan. Mungkin hal itu yang membuatku tak ingin lepas darinya. Absurd? Begitulah adanya cinta.
Dia bukanlah sebutir pasir dalam gurun yang seragam. Yang jika tertiup angin hilang membaur antar sesamanya. Dia bukanlah setetes air dalam hujan. Yang jika menyentuh tanah membaur teralir ke selokan bersama jutaan tetes lainnya. Dia adalah es yang tidak meleleh di atas aspal tengah hari bolong. Dia beku dalam neraka.
Tak perlulah paras cantik bagiku. Yang cantik banyak kau temui sepanjang Jalan Raya Parung sana. Klise, tapi benar kurasa. Tak pernah dia terlihat sangat cantik di mataku. Tapi tak pernah dia tak terlihat amat sangat cantik di hatiku.
Aku suka saat-saat bersamanya, berkualitas maupun tidak. Aku suka membelai pipinya yang putih dengan gurat sangat samar urat-urat halus di sekitarnya. Aku suka menyesap kenikmatan saat mengecup bibir mungilnya yang selalu bersembunyi saat ia tersenyum. Aku betah berjam-jam memandangi matanya yang teduh lalu menerawang menembus turun ke hatinya lalu menelanjangi pikirannya. Aku bahkan menikmati saat hatiku terasa sakit karena pengkhianatan kecil yang dibuatnya.
Saat ini tidak ada alasan untuk berpisah dengannya. Ia tahu betul bahwa pengertian selalu berpasangan dengan kesetiaan, maka dia berikanku pengeritian. Ia tahu betul bahwa maaf selalu berpasangan dengan dosa, maka dia berikanku maaf. Ia mengerti bahwa api dilawan dengan air bukan dengan api.
Entah kapan cerita ini akan berakhir. Setengah hatiku ingin bersamanya selamanya, setengahnya lagi ingin selamanya bersamanya. Saat nafas ini tak dapat dihela lagi. Saat jantung ini stagnasi. Saat lambung ini pecah dan meracuni pembuluh darah. Itu saat yang tepat untuk meninggalkannya.
Jika kau menerima catatan ini, kau akan tahu kepada siapa catatan ini kutujukan. Aku hanya ingin kau mengetahui hanya ini yang kurasakan tentangnya.
Kami berdua tak hanya menjalani cinta, tapi menghidupi.
penulis: bimo.s.hutomo
ditulis pada 16 November 2009
Aku ragu, cintakah yang kurasakan saat ini?
Dulu, ketika pertama tahu tentangnya, gamang, biasa sekali. Entah kapan pandangan ke arahnya mulai kucuri. Tiba-tiba cinta. Ya, ringkas kelihatannya, tetapi jika dijabarkan dapat mengalahkan kerumitan segitiga tak mungkin rekaaan Oscar Reutersvärd. Aku ingat sekali saat pertama menjalani cinta -- rasa yang orang bilang sangat sulit dilukiskan dengan kata-kata, faktanya tidaklah sesulit itu. Kalau kau pernah sekali merasakannya, kau akan teringat kembali setelah membaca ini. Bulu kuduk yang merinding senang saat melihat dia tersenyum ke arahmu. Darah yang berdesir cepat ke kepala yang membuat wajahmu merah dan terasa hangat seketika saat memikirkan dia. Hati yang serasa digelitik saat membayangkan esok akan bertemu dengannya kembali. Jantung yang berhenti sesaat jika mendengar dering telepon khas darinya. Itu yang kurasakan saat itu -- benar, apa sulitnya melukiskan perasaan macam itu ke dalam rangkaian kata-kata?
Seribu enam hari sudah aku menjalani cinta dengannya. Sebuah angka yang simpel menurut ilmu kalkulus, tetapi artinya sangat luas bagiku dan dia. Seribu enam hari seluas aku dan dia yang jika dibentang dapat meneduhi satu juta sahara. Seribu enam hari antara aku dan dia terdapat banyak kisah yang jika diarsipkan dapat membuat database Google tertunduk kalah.
Perbedaan yang begitu mencolok antara dia dengan yang lain hanya satu: dia milikku sedang yang lain bukan. Mungkin hal itu yang membuatku tak ingin lepas darinya. Absurd? Begitulah adanya cinta.
Dia bukanlah sebutir pasir dalam gurun yang seragam. Yang jika tertiup angin hilang membaur antar sesamanya. Dia bukanlah setetes air dalam hujan. Yang jika menyentuh tanah membaur teralir ke selokan bersama jutaan tetes lainnya. Dia adalah es yang tidak meleleh di atas aspal tengah hari bolong. Dia beku dalam neraka.
Tak perlulah paras cantik bagiku. Yang cantik banyak kau temui sepanjang Jalan Raya Parung sana. Klise, tapi benar kurasa. Tak pernah dia terlihat sangat cantik di mataku. Tapi tak pernah dia tak terlihat amat sangat cantik di hatiku.
Aku suka saat-saat bersamanya, berkualitas maupun tidak. Aku suka membelai pipinya yang putih dengan gurat sangat samar urat-urat halus di sekitarnya. Aku suka menyesap kenikmatan saat mengecup bibir mungilnya yang selalu bersembunyi saat ia tersenyum. Aku betah berjam-jam memandangi matanya yang teduh lalu menerawang menembus turun ke hatinya lalu menelanjangi pikirannya. Aku bahkan menikmati saat hatiku terasa sakit karena pengkhianatan kecil yang dibuatnya.
Saat ini tidak ada alasan untuk berpisah dengannya. Ia tahu betul bahwa pengertian selalu berpasangan dengan kesetiaan, maka dia berikanku pengeritian. Ia tahu betul bahwa maaf selalu berpasangan dengan dosa, maka dia berikanku maaf. Ia mengerti bahwa api dilawan dengan air bukan dengan api.
Entah kapan cerita ini akan berakhir. Setengah hatiku ingin bersamanya selamanya, setengahnya lagi ingin selamanya bersamanya. Saat nafas ini tak dapat dihela lagi. Saat jantung ini stagnasi. Saat lambung ini pecah dan meracuni pembuluh darah. Itu saat yang tepat untuk meninggalkannya.
Jika kau menerima catatan ini, kau akan tahu kepada siapa catatan ini kutujukan. Aku hanya ingin kau mengetahui hanya ini yang kurasakan tentangnya.
Kami berdua tak hanya menjalani cinta, tapi menghidupi.
penulis: bimo.s.hutomo
ditulis pada 16 November 2009
No comments:
Post a Comment