Laman

Wednesday, November 30, 2011

Titik



Setitik tanda itu yang selalu membuatku bertanya, sempurnakah dirimu? Hal yang selalu mengusik namun dengan sangat terpaksa harus kukubur di sudut terdalam buku merahku. Ini semua bukan pilihan melainkan kenyataan. Takdir yang sejak lalu aku tak pernah mau percaya padanya, kali ini kupatahkan juga. Ini pasti kehendak Tuhan. Aku bersyukur Ia memindahkan titik itu sedikit lebih ke atas, walaupun tidak pernah benar-benar menghilang.

Kau yang melegam karena terpanggang kejayaan masa lalu, katamu, terjemur dan kering, tak sedikitpun air di sana, tak sepercikpun. Katamu lagi, aku yang meneduhimu, meskipun baru sejurus saja. Namun kelebatan-kelebatan itu masih saja menyayat cepat, kecil-kecil. Berebut berlarian mengelilingi menawarkan payung. Maaf, kawan sekelaminku, tapi aku punya tenda. Apakah kau akan berlari keluar dari bayanganku ini jika kelebatan itu menawarkanmu gubuk? Lalu lompat saat mereka menawarkan rumah? Lalu apartemen? Lalu kembali aku bertanya, akan sempurnahkah dirimu?

Gradasi itu sangat mencolok, antara manisnya luka berubah membaur di tengah dengan liarnya hilir. Payau lagi favoritku, seperti semua mahkluk berjenis kelamin sama denganku. Benar, benar sekali, keindahanmu mengalir laksana sungai yang beninig dari gunung lalu mengeruh di pemukiman. Aku yang baru sampai di jeram pertama, menikmati goncangan syahdu kapal karetku. Itu candu bagiku.

Bagai pemancing yang merindukan kesenyapan telaga. Aku, merindukan kesatiran wajahmu. Tak sabar ingin segera mengempas joran, melempar umpan serta kail baruku, memancing kerinduan dari jernih matamu. Menyiuk senyuman dari legit bibirmu, lalu segera memasang layar dan mengarungi samudera hatimu.

Gemunung beserta demitnya tak menggetarkan hatiku pun tak menggeser pijakanku dari tanah yang baru kupijak. Meski ekor ini masih menghantui, seiring kedewasaanku, akan pupus juga dirayap waktu. Hanya ada darah dalam sembiluku ini, bukan cinta. Mendesah dan mencoba kelu, tapi toh aku terdengar juga.

Akan kudaki segala tebing tercuram, kuseberangi lima samudera. Lalu berkat semua itu, akan kunira semua peluhku, lalu kupersembahkan ke depan pintu hatimu. Sebagai tanda bahwa aku ada untukmu. Meskipun tercampur pasir dan garam, tapi terimalah itu semua sebagai bukti perjuanganku untukmu, Adindaku.

oleh Bimo S. Hutomo

No comments:

Post a Comment