Laman

Tuesday, July 13, 2010

K

Dia punya senyum yang lucu. Kadang aku terkekeh. Aku tak bisa bayangkan bisa setegar dia, bahkan saat diguyur hujan pun dia belum juga basah. Ya, walaupun aku tahu, sebelumnya dia pernah basah akan air yang mengalir dari ekor matanya. Tapi sekarang, air itu sudah beku.
Beku menjadi taring-taring es. Saking piawainya dia mengolah dan meracik emosi, sekarang taring-taring es itu sudah jadi pajangan tembok serambi kamar. Dia tidak begitu peduli lagi.

Dia tak ambil peduli lagi akan malam yang pernah mengutuksumpahi dirinya akan jembatan yang kini sudah dibongkar sadis oleh seseorang. Dia tak ambil peduli lagi akan malam yang cakarnya suka mencabik-cabik kulitnya hingga dagingnya menyeruak ke luar. Dia tak ambil peduli lagi akan malam yang ingkar janji akan mengucap kata 'sayang, tetapi malam malah mengucap kata 'bayang'.

Namun, dia tak akan bisa luput dari satu nama. Satu nama yang belum dia lipat jadi dua. Satu nama yang sudah dia sobek-sobek jadi kain perca, namun suatu saat dia bisa menyusunnya lagi dalam bentuk mozaik pada bingkai emas. Mozaik yang sampai saat kini masih mejadi bagian dari kesehariannya; seperti menjerang air untuk mandi pagi, atau sapaan 'halo' yang sederhana, namun bersahaja untuk beratus-ratus hari ke depan.

Hatinya kini belum tertutup rapat. Masih ada celah pada pintu hatinya yang masih belum penuh ditutup, atau sepertinya dia sisakan sedikit agar sinar rembulan bisa mampir sebentar saja ke hatinya. Walaupun pintu hatinya sudah dikunci rapat suatu saat, dia masih akan selalu jadi gadis yang tersenyum lucu. Aku terkekeh.

Begini katanya,

"Jika aku sudah mengunci pintu hatiku rapat dan kuncinya entah aku buang ke mana, jangan khawatir. Hatiku masih punya jendela. Siapa saja bisa mampir lewat jendela jika tidak ada pintu, bahkan daun lontar yang kering kerontang bisa masuk bersama angin lewat jendelaku. Tapi kamu bukan selembar daun kering. Kamu tak perlu dialiri angin untuk masuk ke hatiku. Cukup panjat saja hatiku, lekati. Maka kamu sudah bisa masuk ke hatiku. Berkali-kali. Aku juga punya balkon di luar jendela hatiku, siapa tau kita bisa bercengkrama sambil menengadah ke atap langit."

Masih ada kesempatan untuk berbahagia. Celah kosong lama-lama akan terisi. Penuh lagi. Begitukah maksudmu, K?

DITULIS OLEH: BARDJAN TRIARTI

No comments:

Post a Comment