Laman

Saturday, July 10, 2010

Sandal Yang Hilang

Pernah dengar cerita tentang tulang rusuk yang menggigil gemetar? Percayalah, ini asli. Kini aku sedang merasakannya. Sudah dua lembar syal melingkar di leher, sarung tangan hitam tebal, jaket bulu pemberian almarhum ayahku, dan tiga lapis kaus kaki yang kukenakan, tapi tetap saja tulangku retak ditusuk dinginnya pagi ini. Biasanya kalau sudah masuk musim dingin seperti ini, aku akan berhibernasi sepanjang musim dan menunggu bunga tulip tumbuh kembali di pekarangan tetanggaku. Kebiasaan burukku hanya satu: aku sangat senang menekan tombol “skip” pada saat-saat yang tidak menyenangkan.

Hari ini tanggal 17 Desember, sudah genap 50 kali aku datang kesini dan mengantarkan perempuan pujaanku ke bandara selama 50 minggu terakhir ini setiap hari senin. Perempuan ini selalu datang setiap hari sabtu untuk mengunjungi kedua orang tuanya, ia sendiri adalah seorang pegawai di sebuah bank di ibukota. Ya teman, cerita ini adalah cerita cinta. Lagi-lagi tentang cinta. Mari kita mulai dari dia.

Dia adalah Irene, perempuan keturunan Amerika-Turki. Ayah dan Ibunya tinggal di kota ini, di jalan elm nomor 8 tepatnya. Disana aku biasa menunggu di depan sebuah telepon umum, duduk di bench pinggiran jalan sambil sesekali mengelap mobilku. Maaf, maksudku taksiku. Irene mempunyai segala yang kuingin, tapi sebaliknya, aku mempunyai segala yang tak ia inginkan. Ironis. Dan realistis.

Sejak tinggal di ibu kota, setiap hari sabtu ia pulang ke kota ini dan kembali ke ibu kota pada hari senin. Dan aku tahu ia terbiasa naik taksi untuk pergi ke bandara. Jadi sejak tahu hal itu aku mulai membiasakan diri menunggu di bench pinggiran jalan sebelah telepon umum di jalan elm nomor 8, tepat di sebrang rumah orangtua Irene setiap hari senin pagi. Tapi walau sudah 50 kali kuantar ke bandara, belum satupun percakapan kami lakukan. Aku terlalu takut memulainya, tak seperti penumpang biasa, ia selalu duduk di jok depan. Membuatku merasa grogi, padahal tak pernah sekalipun aku membatu di hadapan wanita. Setidaknya aku pernah terkenal sebagai playboy di sekolah menengah atas dulu.

----000----

Hari ini adalah hari senin ke 70. Aku masih saja bertahan menunggu di bench pinggiran jalan sebelah telepon umum di jalan elm nomor 8, tepat di sebrang rumah orangtua Irene. Akhirnya pergerakan mulai terasa, ia mulai mengatakan hal lain selain “terima kasih” setelah turun dari taksiku. Hari itu kalau tidak salah hari senin ke-59, ia menanyakan namaku dan menayakan alasan kenapa aku selalu ada di depan rumah orangtuanya setiap hari senin pagi. Aku tidak menjawab saat itu. Aku diam, bingung, pusing, sampai ingin pingsan. Apa? Berlebihan? Kau pasti belum pernah jatuh cinta.

Irene keluar dari pintu jati tua dengan engsel yang berdencit melengking kepunyaan orangtuanya. Ia memeluk ibunya, mencium kedua pipi ayahnya, lalu berjalan pelan menghampiri taksiku. “antarkan aku ke toko buku, aku harus membeli kertas dan amplop. Setelah itu baru antarkan aku ke bandara.” Kata Irene padaku dengan nada perintah. Aku sudah bukan supir taksi lagi, aku supir pribadi Irene. Diperbudak cintaku yang terlalu hebat dan terlalu kuat. Tahan banting dan tahan malu.

Setelah keluar dari toko buku dengan pelastik berisikan amplop, kertas dan mungkin juga pena ia langsung masuk ke dalam taksiku lewat pintu belakang. Ia duduk di bangku penumpang belakang, aneh. Sudah 69 kali ia naik taksi ini, tapi baru sekarang duduk di bangku belakang. Di sepanjang perjalanan menuju bandara ia terus menulis pada sebuah kertas sampai penuh, lalu memasukkannya pada sebuah amplop merah tua.
----000----

Ini hari senin ke-98. Irene kembali duduk di bangku depan, ia menatapku tajam, tapi tak pernah berani aku balik menatapnya. Ia kembali memerhatikan jalan di depan, lalu sesekali menengok ke arahku. Ia berkata ”kau ini dingin sekali”, aku diam beku tak membalas apa-apa. Irene menarik tuas jok dan mendorong tubuhnya kebelakang, ia setengah tiduran. Ia menatapku lagi, lalu berkata ”hey” lalu aku menengok sebentar, “taukah kau kalau cinta itu sederhana? Ya, sederhana. Orang-orang bilang cinta itu rumit tapi buatku tidak, cinta itu sesederhana membalikkan telapak tangan. Tapi kau harus tahu benar mana yang namanya cinta dan mana yang namanya obsesi.” Aku tersenyum “ya” kataku, “kau itu seperti sandal kiri.” Aku bingung mendengar perkataannya itu, lalu kuberanikan bertanya “maksudmu?”, “Semua makhluk tuhan itu diciptakan sepasang sepasang. Seperti sepasang sandal. Kalau kau sandal kiri, berarti kau harus cari pasanganmu si sandal kanan. Kalian akan teruuus bersama sampai ada salah satu dari kalian yang putus talinya.” Jawabnya sambil tersenyum.
----000----

Ini hari senin ke-99, aku mengantar Irene ke bandara seperti biasa setelah sebelumnya menunggu di bench pinggiran jalan sebelah telepon umum di jalan elm nomor 8, tepat di sebrang rumah orangtua Irene lagi. Hari ini ia tenang sekali, tak sekalipun bicara, hanya mengucapkan “terima kasih” saat sampai. Aku sedikit kecewa tidak mendengar banyak suaranya yang lembut.

Aku kembali menunggu di bench pinggiran jalan sebelah telepon umum di jalan elm nomor 8, aku memesan hot dog dan orange juice untuk makan siangku. Aku merasa kehilangan Irene yang selalu kucintai, ia terlalu diam pagi tadi. Aku membuka pintu belakang taksiku dan duduk di dalamnya. Setelah duduk beberapa menit aku sadar akan adanya benda asing di taksiku. Sebuah amplop merah tua, dengan tanda tangan Irene. Di sampul depannya bertuliskan “untukmu, supir taksi”, tak berpikir panjang aku segera membuka tutup amplop itu. Kuambil surat didalamnya, dilipat tiga, dan bertuliskan tinta merah.
“hai supir taksi yang baik hati. Ini hari senin ke-99 kau menjemputku dan mengantarku ke bandara. Terima kasih untuk 99 kali tumpanganmu untukku. Namamu Albert kan? Aku tahu dari ayah-ibuku, aku bertanya banyak tentang kau kepada mereka. Ingat kata-kataku soal sandal? Kau harus segera mencari si sandal kanan. Dan jika kau berpikir bahwa akulah sandal kananmu, maka kau sudah terlambat. Aku sudah tidak akan kembali ke kotamu. Aku sudah pamitan pada orangtuaku karena aku akan segera dipindah tugaskan ke luar negeri. Ingat albert, kalau kau ingin mendapatkan sesuatu, maka kejarlah. Dan bila terlambat, maka berhentilah. Aku sudah tak lagi dapat kau kejar, aku tahu benar kalau kau menyukaiku. Sekian suratku. Salam sayangku untukmu”

-terima kasih Albert si Supir Taksi-
Aku Cnta Kau

Tertanda, Irene.
Ini hari senin ke-100. Aku lagi lagi duduk diam di bench pinggiran jalan sebelah telepon umum di jalan elm nomor 8, tepat di sebrang rumah orangtua Irene. Aku menggenggam segelas kopi robusta yang kubeli di depan rumah orangtua Irene. Aku merasakan sepi. Aku merasakan kehilangan. Aku merasakan kesakitan. Mimpi akan terus jadi mimpi, dan cinta akan terus jadi cinta. Aku kehilangan satu orang yang kucintai. Dan pada akhirnya tidak ada hari senin ke-100 aku membawa Irene ke bandara dan menunggu satu minggu untuk menjemputnya lagi.
Aku akan berhibernasi, menunggu tulip-tulip di pekarangan tetanggaku tumbuh besar kembali, dan lebah-lebah mengganggu tidurku. Aku akan menekan tombol “skip” untuk saat-saat menyedihkan seperti ini.

PS: Hai supir taksi. Kehilangan cinta itu seperti kehilangan dompet. Saat kehilangan dompet, kau akan kehilangan materi, identitas, dan semua receh-receh berharga dalam hidupmu. Pun saat kau kehilangan cinta. Maka jangan lagi kau kehilangan cinta. Cinta bisa memilih, tapi cinta tidak bisa menunggu.

kubisikan pada diri sendiri "Aku kehilangan"





ditulis oleh: Satria Adji Putusetia

No comments:

Post a Comment