Laman

Saturday, July 10, 2010

Ketika Asin Lupa Pulang Kepada Laut

Beri aku waktu sepersekian menit saja untuk memberimu tangan kananku padamu, Wahai Laut.
Ya, kata-kata yang 'nak aku petik ini beberapa menit lagi akan menjadi puisi. Puisi ini akan seharga tangan kananku. jika kamu membacanya tepat malam ini, ketika angin meraba-raba dadamu yang disinari rembulan emas, maka puisi ini akan seharga kelangkanganku.

Malam ini aku melihat satu kap air laut mengisi penuh cangkirku, lengkap jua dengan rembulan sebesar bola pingpong terambing di atasnya. Kamu tahu apa artinya? Aku sedang menikmati secangkir air laut yang tak hanya ingin aku ciumi saja hangatnya, tetapi ingin aku lumat sampai ampasnya juga menggamit masuk dalam kerongkongan. Dan rembulan pingpong itu akan aku lilit di lidahku, supaya bisa kita lilit dengan lidah masing-masing, bisa kaurampas dari gigi-gerigi yang biasa mencubit untuk saling tertawa.

Hati-hati, beberapa milisekon lagi, kata-kata ini sudah berubah menjadi puisi. Dan akan seharga dengan tangan kananku.

Aku cinta padamu, Laut. Jauh sebelum kamu mengikatku dengan ombak, walaupun hatimu masih melaut pada air yang lain. Air yang kini sudah mengalir jauh dari pesisirmu. Aku mencintaimu dengan sangat sederhana, seperti hujan yang tanpa paksa mengalir untuk kawin denganmu. Seperti kata ibu yang berucap, "Semua air mengalir ke laut." Maka aku pikir aku akan selalu mengalir padamu, Laut.

Laut, aku sudah gila, Laut. Aku gila. Aku iri pada ikan remora yang bisa menyelam bersama hiu putih dan pasti menghirup-hirup bau tubuhmu. Aku iri pada batu koral atau hydra yang menjalar dari setiap bagian di tubuhmu. Aku iri pada spons merah yang biasa menyeka keringatmu dari panas matahari yang sebesar bola tenis di matamu.
namun, bukan berarti aku ingin tubuhmu. Maaf jika aku lancang. Jiwa ragamu adalah satu paket yang jatuh dari langit saat pagi. jiwa dan ragamu sudah satu paket, paket yang istimewa.
Langit menurunkannya lewat bibir awan, lewat desah air hujan yang basa, dengan bungkus kado yang berlapis-lapis, dengan pita yang bergulung-gulung, dan bungkus kado berbahan sayap bidadari. Aku melihatnya tanpa cacat. Aku menikmatinya tanpa tapi.

Gawat, kini hanya tersisa beberapa nanosekon lagi agar kata-kata ini menjadi puisi. Maka puisi ini akan seharga tangan kananku. Harga mati.
Sebelum terlambat, aku hanya ingin meminta satu hal darimu, Laut.

Aku ingin menjadi asin pada lautmu.
Asin pada lautmu.


.....
BLAST!
waktu habis!
Kata-kata ini sudah jadi puisi, sudah seharga mati dengan tangan kananku.
Semoga kamu membuat puisi ini jadi seharga kelangkanganku.

DITULIS OLEH : BARDJAN TRIARTI

No comments:

Post a Comment