Laman

Thursday, November 18, 2010

Ending ala Hollywood Bagian II

Aku jadi sangsi, apakah kisah kita akan semulus skenario megah selayak Film Hollywood?

...........





Bandung, 29 Januari

Untuk Barin Di Dunia Nyata





Ketika lelaki meminangmu, kamu akan melihat betapa Tuhan punya permainan yang lucu terhadap arena jagad raya: Bumi berhenti berputar pada porosnya. Langit akan dihujani oleh cairan jeruk manis. Awan akan turun dari langit dan bisa dimakan seperti gula-gula kapas. Suara halilintar badai akan menjadi alunan simfoni Beethoven, pengantar tidur para bayi. Orang-orang di jalanan kota akan mempunyai wajah-wajah mirip seperti lelaki pujaanmu. Bunga-bunga akan mekar tujuh warna di sekitar halaman rumahmu saja. Bintang-bintang akan jadi muram keriput, cemburu karena ada inspirator baru yang menjadi dambaan para penulis dan penyair ketika malam hari.

Intinya, semua akan terasa manis. Sebagaimana kamu sedang kasmaran pada pertama kalinya, atau ketika kamu mendapat ciuman pertama pada kencan dengan orang yang kamu suka. Jadi, kamu akan merasa seperti remaja lagi ketika orang yang kamu cintai meminangmu. Satu menit berikutnya, kamu akan menjual senyummu ke mana-mana, bahkan kamu akan tidur sambil tersenyum pulas. Satu menit selanjutnya, kamu akan mulai berpikir bagaimana suasana resepsi pernikahanmu, orang-orang yang akan datang, gaun yang akan kamu kenakan, dan bagaimana hidupmu dan suamimu hanya satu jengkal dengan gerbang baru bernama rumah tangga.



Dan itulah yang sedang aku rasakan.......Di masa lalu...





Sudah lebih dari lima ribu kali angin memainkan rambutku sore itu dengan tiupan yang sangat kencang tapi lembut, seperti jemarimu yang menggelitik rambutku di kala senja saat sunset itu menyembul dari balik utara pesisir pantai Parangtritis setahun lalu, sebelum akhirnya beberapa kilometer jarak harus menindak kita naik bis atau pesawat terbang untuk saling bertatap wajah.

Maaf aku tak bisa ikut kamu untuk membangun rumah di Jogjakarta karena aku sudah tak bisa berpaling dari atmosfir di Kota Bandung. Belanda jaman dulu saja tahu bahwa Bandung adalah kota yang paling cantik yang pernah ada di dunia. Kita harus berani menentang jarak, bukan? Jangan menjadikan jarak adalah alasan paling kuno beserta egois untuk menghalangi perasaan cinta yang kini sudah menjadi penggerak tangan jarum jam untuk berputar.

Dengan kata lain, aku mencintaimu.

Lalu, kamu meminangku. Walau dengan kata-kata sederhana dai dalam amplop yang selalu menjaga hubungan kita bertahan sekokoh karang, namun kamu selalu bisa menciptakan isyarat-isyarat mesra lewat awan yang selalu berubah warna menjadi biru atau lembayung. Atau bulan purnama bugil bulat yang selalu mengajak aku menari di atasnya ketika aku bermurung diri di atas balkon. Isyarat-isyarat rindumu adalah tamu paling istimewa yang selalu datang bersamaan dengan suratmu yang sedang kubaca ketika waktu senggang.



Isi suratmu kala itu masih aku simpan di lemari kayuku.Surat terakhirmu, dengan potongan kalimat terakhir yang membuat duniaku tetap berputar abadi hingga saat ini:



"Mina, maukah kamu menikah denganku? Aku tak main-main. Mau berapa butir waktu lagi yang kita tunggu untuk menuntaskan jarak dan ruang yang semakin mencekik ini? Aku mencintaimu. kamu juga. Lalu, apa lagi yang kurang? Aku pinang kamu, bidadari."



Siang itu, 29 Januari 1978. Aku telusuri jalanan pusat di Bandung dengan perasaan yang tak bisa aku lukis dengan ribuan bahasa manusia. Aku merasa lahir baru sebagai remaja lagi. Remaja yang baru membuka mata di pagi hari, keluar rumah, dan jatuh cinta. Itu semua, seperti yang telah aku katakan di atas, adalah karena aku telah dipinang oleh lelaki yang selama ini tidak pernah tidur dalam mimpiku. Jangan tanya lagi bagaimana hebatnya perasaan senang bergejolak dalam hatiku, karena semua manusia akan merasakan hal yang sama jika orang yang dicintainya mengajak hidup bersama dalam satu naungan.

Sayangnya, aku tak jadi menikahimu, Barin. Tuhan sudah terlebih dahulu punya rencana yang sangat lucu, lebih lucu daripada gumpalan-gumpalan awan yang seperti gula-gula kapas itu. Aku telah meninggal dunia dalam kecelakaan mobil di Jalan Braga, Bandung. Kukebut mobilku ketika hendak aku memesan sebuah gaun yang tadinya ingin aku pakai untuk pernikahan. Aku melamun, membayangkan betapa cantiknya aku memakai gaun itu ketika bersanding denganmu, Barin. Hingga aku tersadar bahwa ada sebuah truk besar berlawanan arah muncul di hadapanku. Aku terlambat untuk menginjak rem. Aku terlambat beberapa detik saja. Tapi Tuhan memang paling tepat waktu. Dia mengatur serangkaian rencana mautku tanpa kata terlambat sedetikpun. Aku terlambat menginjak rem hingga aku mati konyol, seakan-akan dengan terlambat menginjak rem aku masih bisa keluar dari pintu mobil dengan berguling selamat seperti layaknya film-film action Hollywood.



Bukan cuma terlambat menginjak rem saja, ternyata aku juga terlambat untuk melihat bagaimana kamu menyiapkan bangunan rumah yang bagus untuk kita singgahi bersama anak-anak kita. Dan ternyata, selain terlambat menginjak rem, aku juga terlambat menyaksikan bagaimana lelaki yang paling aku cintai akan pulang di malam hari dari tempat kerjanya, kemudian aku sudah menunggunya dengan pakaian tipis sebagai penyambut paling manis di malam hari.





AH! Pikiranku terlalu jauh, Barin. Aku sudah mati sekarang. Semua harapanku sudah menjadi khayal yang terbakar kikis jadi abu, seperti kayu-kayu di perapianmu... Aku telah terlambat sepersekian detik untuk mengabarimu betapa aku bahagia selama tujuh tahun bertali kasih denganmu. Aku telah terlambat sepersekian detik untuk mengabarimu bahwa aku menderita insomnia sebanyak tujuh malam ketika seddang merindumu. Hingga saat ini, semua perasaan rindu itu belum terkubur bersama jasadku yang beku dan kaku. Perasaan rindu itu belum membusuk bersama kulit-kulit yang mengelupas jadi daging mentah, atau bersama belulang berserakan di dalam tanah. Aku masih hidup dalam jiwaku, Barin. Mungkin juga dalam jiwamu, kalau aku boleh tahu. Semua kenangan yang kita buat ternyata sudah memulangkan jiwaku dengan raga yang membungkusnya sejak dahulu. Hingga saat ini, aku masih utuh dalam ragaku, walaupun aku tidak dapat dilihat oleh setiap manusia manapun. Tapi, jika kamu ingin merasakan kedatanganku, resapi dan lekatilah isyarat-isyarat yang disampaikan semesta padamu. Ayam-ayam di halaman depan rumahmu akan berkokok lebih sering daripada biasanya. Jemuran-jemuran basah akan kering dalam sekejap mata. Buah-buah mangga akan bermekaran cepat dari pohonmu. Musim semi akan tiba dalam hitungan beberapa hari tanpa perlu menunggu bulan Januari. Pokoknya, jika nanti aku datang ke rumahmu, semua fenomena semesta akan bergulir cepat layaknya film yang sedang di fast forward.



Tak lupa, aku juga akan mengirim balik isyarat yang pernah kamu kirim padaku lewat gumpalan awan di Kota Bandung. Kelak kamu akan menemukan fenomena alam ini di Jogjakarta: Awan-awan akan berubah warna jadi warna biru atau lembayung. Itulah aku, yang masih terlalu mencintaimu.







Jogjakarta, 13 Juni 1990



Voila! Aku sampai juga di Jogjakarta! Lihat bagaimana debu-debu kota ini dengan ramah menyambutku! Hahaha. Seperti biasa, aku bisa berjalan bebas di sini, bahkan di manapun. Aku tidak bisa dilihat oleh manusia manapun, tetapi aku bisa menyaksikan bagaimana dimensi waktu menyeretku lebih dalam lagi. Aku terperangkap dalam kehidupan nyata di mana hidup manusia bergulir sesuai rutinitas pada arloji mereka masing-masing. Karena aku hanya berupa siluet yang tidak nyata, aku tak bisa mencegah setiap peristiwa untuk mengubah jalannya. Aku tak bisa mengubah nasib sendiri, apalagi nasib orang lain. Aku hanya bisa melihat tanpa bisa bertindak apapun.

Kini aku tiba di kotamu dengan penuh rasa girang. Sudah lama sekali rasanya aku tak menatap matamu, memegang tanganmu, mengecup pipimu, bermain dengan kucingmu, meminum teh pada cangkir yang sama, bersantai sore pada langit yang sama, dan rutinitas lain yang biasa kita jadikan pengantar rembulan datang di malam hari. Aku tak sabar untuk bertemu denganmu, walaupun mungkin kamu tak akan bisa melihatku. Tetapi, kalau kamu masih mencintaiku, percayalah kamu akan merasakan isyarat-isyarat yang menandakan aku telah datang kembali pada pelukanmu. Alam semesta akan mencairkan matahari yang teriknya mengganas siang ini, dan aku akan datang ke pelukanmu sambil menangis hingga air mataku akan menjadi taring-taring es yang menjadi hiasan kamar perapianmu.



Aku sampai di depan pintu rumahmu. Aku buka, kemudian masuk ke dalam dengan rasa haru yang menggeledak tinggi. Mataku sudah berkaca-kaca. Aku menahan setiap air mata itu agar kembali masuk dalam kerongkongan. Aku tak boleh menangis. Aku harus tersenyum manis saat menyambutmu kembali. Rasakanlah isyarat alam semesta ketika aku pulang kembali ke hatimu.



Namun, ketika aku tiba di ruang tamu, ternyata aku tak bisa menahan air mata yang sudah jadi gumpalan taring-taring es itu. Aku melihat pemandangan yang tak seperti apa yang aku harapkan. Aku mengutuk diriku untuk dihidupkan kembali menjadi raga bayangan. Aku seperti mengutuk Tuhan pada saat itu juga, mengapa aku harus dihidupkan kembali tanpa bisa melakukan tindakan apapun! Mengapa aku harus dilahirkan tanpa bisa menikmati sekularisme putaran waktu di dunia nyata! Apa yang aku lihat saat ini sama sekali tak mebuatku bersyukur untuk bisa hidup kembali.

Aku hanya bisa teriak saat itu sambil menangis seperti anak bayi yang kelaparan selama seminggu, Aku berteriak sangat keras, tapi tak ada yang bisa mendengarku.

Dan aku rasa, kamu tak mendengarnya juga, Barin.

Bahkan, kamu tidak merasakan isyarat-isyarat alam semesta itu karena kamu sudah tak lagi mencintaiku.





Di dalam ruang tamu, aku melihat kamu sedang bercengkrama dengan wanita lain sambil menggendong satu anak bayi dalam pangkuanmu..

Kamu tampak bahagia.


ditulis oleh bardjan triati

No comments:

Post a Comment