Laman

Saturday, November 13, 2010

Ending ala Hollywood Bagian I

Sabtu, 21 Juni

Kepada Mina, organisme manis yang membatasi langit dan bumi.
Ijinkan aku memulai surat ini padamu, tentu dengan lantunan kata yang kamu anggap basa-basi: 'apa kabar?'
Tapi hari ini, 'apa kabar'-ku benar murni bukan sekedar basa-basi. Aku penasaran akan kabarmu, menerka-nerka apa yang sedang kamu lakukan atau baju apa yang sedang kamu kenakan. Terlebih kita sudah berbeda tempat tinggal. Jogjakarta tetap aku hayati sebagai tempat naunganku dan keluarga, sedangkan kamu memilih Bandung untuk dijadikan kehidupan.
Kelak dari berkilo-kilometer jalanan kota ini akan kupatahkan, sehingga jarak dan ruang bukan lagi khayalan yang kita lekati lewat secarik kertas dalam amplop. Hanya dari surat ini aku merasa intensitas rindu dalam hatiku sedikit jinak.
Well, semoga kamu baik baik saja, Mina. Salam hangat untuk keluargamu,terutama Ibumu. Aku rindu mendentingkan cangkir tehku pada cangkirnya ketika kita berkumpul di perjamuan makan.
Bilang pada ibumu, ia punya anak gadis yang bisa membuat aku uring-uringan untuk melamarnya.

Senin, 23 Juni

Kepada Barin,
Bersama surat ini kupaketkan doa beserta hawa segar dari berpucuk-pucuk nafas daun teh Kota Bandung, sebagai tanda bahwa kabarku dan keluarga baik-baik saja.
Aku tak ingin munafik dengan menyangkal bahwa aku juga merindu. Aku rindu warna wajahmu yang selalu serasi dengan warna hati dan warna langitku. Aku rindu tanganmu yang berurat halus, memetik dawai-dawai gitar dengan terurai lihai. Aku rindu suaramu yang memanggil seperti mengajak burung kenari berkicau sahut-sahutan di halapan depan rumahku. Aku rindu matamu yang membelalak besar ketika bulu mata kita beradu sentuh.
Masih banyak lagi 'aku rindu-aku rindu' yang lainnya, hanya saja aku khawatir tinta penaku surut untuk menulisnya.
Anyway, bagaimana kabar Jogjakarta?

Kamis, 26 Juni

Suratmu sampai lebih telat dari biasanya. Sepertinya tukang pos mampir dulu ke Air Terjun Maribaya untuk piknik, atau mungkin ia berbelanja dulu di Paris Van Java. Hahaha!
Cukup, Mina, jangan lagi kamu tulis tentang apa yang kamu rindukan dariku. Semua itu malah membikin aku susah tidur. Seperti ada kehebohan atau parade di otakku ketika aku tahu ternyata kamu membalas isyarat-isyarat rindu yang kutitipkan pada gumpalan awan yang berbondong-bondong ke kotamu. Pernahkah di Bandung ada fenomena awan menjadi berwarna biru atau lembayung? Itulah isyarat rindu yang setiap senja aku titipkan.
Ngomong-ngomong, tadi kamu bertanya bagaimana kabar Jogjakarta. Tentu saja masih panas! Temperatur yang cocok buat mengenakan kaus tanpa lengan di siang hari sambil meneguk segelas jeruk. Tetapi, jangan salah. Ketika sore hari, serangan suhu tinggi itu terbayar lunas oleh kehangatan, terlebih jika senja menyembul manis lewat sunset yang pernah kita nikmati di pesisir pantai Parangtritis..
Aku ingat waktu kita berjalan-jalan di Malioboro, aku dan kamu menunggu sore datang dari haluannya hingga langit jadi lembayung, terik matahari kembali pulang ke kandangnya.
Kita naik sepeda onthel, belanja souvenir, berkunjung ke kraton, belanja bakpia pathok dan masih banyak lagi riang yang kita resapi hingga kamu menampik untuk pulang ke Bandung.
Jadi, apabila kamu bertanya bagaimana kabar Jogja? Jogja kehilangan pengunjung paling cantik, yaitu kamu.

Sabtu, 28 Juni

Barin! Now, you got me want to pinch your nose! Dasar tukang penggombal ulung!
Intinya, Jogjakarta masih tetap atraktif untuk dijadikan tempat melancong, bukan? Satu kenangan yang paling kuingat dari setiap detil kecilnya, yaitu saat kita ke Malioboro. Tukang becak setia mengantar kita ke setiap tempat jajanan. Ketika kita sedang asyik menyusuri tiap trotoarnya, orang-orang bergenyit iri memerhatikan pola tingkah kita.
Ketika malam hari, tukang becak menawarkan kita untuk pulang. Kemudian, kamu berkata: "Tunggu sebentar, Bang. Saya masih ingin mencipta kenangan yang indah pada bibirnya yang lentik." Eureka! You fly me to the moon!

Barin, aku semakin tak sabar bersua. Dengan surat-surat ini, kita bisa saling bertahan, menghapus rasa cemas akan waktu yang semakin mengganas memisah kita utara selatan. Aku jadi teringat film The Lake House. Keanu Reeves dan Sandra Bullock saling berkirim surat, kemudian mereka jatuh cinta. Mereka belum pernah bertemu sebelumnya, tapi mereka sudah bisa menggambarkan wujud masing-masing. Mereka bertahan dari kata-kata yang mereka tumpahkan dari ujung mata pena. Mereka bertahan dengan mengecek kotak surat di depan rumah mereka. Padahal, mereka bersurat-suratan dalam jangka waktu dua tahun yang berbeda. Dalam kata lain, berbeda dimensi.
Apa kita begitu?

Senin, 30 Juni

Kepada Mina, Si Penggila Film.
Aku juga sudah pernah menonton film itu. Sungguh, kisah kita berbeda dengan film itu.Kita tidak hidup dalam dua tahun yang berbeda. Buktinya, tukang pos hanya perlu dua hari untuk menyampaikan suratmu padaku tanpa keluhan atau insiden apapun. Lihat saja nanti, betapa sosokku nyata ketika nanti kususul kamu ke Bandung. Akan kubawakan pula sekotak cincin bersama sepotong senja yang kugali dari langit sore Pantai Parangtritis.
Mungkin, ada persamaan kisah kita dengan Film 'The Lake House'. Kamu secantik Sandra Bullock, dengan lesung pipit yang menggemaskan, sedangkan aku setampan Keanu Reeves, bukan? Hahaha!
Lagipula, bukankah film itu berakhir dengan ending yang bahagia? Sandra Bullock berhasil menyeret Keanu Reeves pada dimensi yang sebenarnya. Mereka hidup bahagia.
Ah, bukankah semua ending drama Hollywood selalu bahagia? Itulah yang paling aku muak dari drama Hollywood, ending yang slelau tanpa cacat. Malah terkadang lumerlah kita dengan tangis haru dan helaan nafas puas dari para spektator. Apakah kita tidak merasa dipecundangi oleh drama-drama tersebut? Sebagaimana kehidupan seakan berjalan sesuai skenario yang apik dari tangan dingin sutradara, seakan hidup selalu selicin sandiwara megah dengan akhir yang 'happily ever after'.

Aku jadi sangsi apakah kisah kita akan semulus skenario megah selayak Film Hollywood?

Selasa, 13 Agustus

Maaf, Barin. Aku begitu telat untuk membalas suratmu. Tugas kuliah menumpuk, tawaran siaran radio mencabik-cabik waktu santaiku. Rutinitas yang semakin menggit, sehingga aku sadar bahwa kamu mengirim suratmu yang terakhir sebanyak empat kali. Empat surat yang sama berada dalam kotak suratku. Kamu pasti menyangka bahwa Pak Pos mampir jalan-jalan dulu ke Malioboro? Hahaha!
Ngomong-ngomong soal film Hollywood, ingatlah, Barin. Hidup kita bukanlah film. Tak ada yang bisa semulus ending Hollywood. Bagaimana jika kita tidak punya kesempatan untuk mendapatkan ending ala Hollywood?
Banyak sekali pertanyaan yang nencakar pipiku malam ini, terutama ketika aku melihat bulan purnama yang bugil bulat. Ingin rasanya aku memandangnya bersamamu. Di atas balkon rumah kita sendiri. Dengan ikatan yang suci. Tahukah maksudku?
Kita sudah saling lama melemparkan beberapa serapah cinta, jadi apa lagi yang kita tunggu? Aku menunggu kamu pulang meminangku,menyematkan cincin itu pada jemariku. Sudah lama aku menantinya, Barin. Jika menanti lamaranmu adalah merontokkan sehelai rambut, mungkin malam ini aku sudah jadi gadis gundul.
Maaf sebelumnya, aku tak bisa ikut kamu ke Jogjakarta. Aku sudah terlanjur jatuh hati pada Bandung.
Jadi, maukah kita mengukir ending Hollywood kita berdua?

Kamis, 15 Agustus

Minggu depan aku segera ke Bandung. Melamar bidadari untuk hidup sama-sama.
Biarkan aku menikmati sarapanmu tiap pagi, biarkan aku mengenakan pakaian yang kamu cuci, melahap setiap kudapan yang kamu sulap dari tanganmu. Satu lagi, izinkanlah aku menjadikanmu ibu dari anak-anak yang nanti akan kita miliki. Ajarkanlah mereka mengeja alfabeta. Ajarkanlah mereka mengaji walau hanya satu ayat. Jadikanlah tumpukan surat ini sebagai bahan dongeng pengantar tidur untuk anak cucu kita.
Dan kita akan menjadi drama Hollywood yang paling laku di alam semesta.

Aku mencintaimu, Mina


...............

Lima tahun berlalu, surat terakhirku tidak pernah dibalas oleh gadis itu. Tidak ada lagi rutinitas memetik gitar di sore hari sambil menunggu tukang pus menjangkau kotak suratku, memasukkan sebuah amplop yang selalu kulihat berkilau seperti pupil matanya yang lugu.Tak ada lagi secawan kopi susu yang menjemput setiap kata-kata yang kupikirkan dengan matang untuk dituangkan di atas secarik kertas buat kekasih.
Dia benar, hidup ini bukanlah film.
Walaupun aku tak jadi menikah dengannya, ternyata itu bukan akhir dari dunia. Tanpa ending ala Hollywood, aku masih bisa hidup bertahun-tahun lamanya tanpa lumpuh. Jauh di dalam raga yang membungkus jiwaku, aku rusak. Aku sering tertawa getir tiba-tiba. Aku sering berbicara pada rumput ilalang yang tertiup angin, karena itu mengingatkan aku pada rambutnya yang berdesir lunglai dimainkan angin. Aku sering berdansa sendiri di balkon ketika bulan purnama bugil bulat. Aku sering murung berjam-jam di depan perapian, sambil berharap kayu-kayu bakar itu adalah semua kenanganku yang habis kikis jadi abu.
Dan tentang surat terakhir yang tidak ia balas, sebetulnya itu bukanlah masalah, karena akulah yang menulis surat-surat itu sendiri. Ya, akhirnya kalian tahu. Biarkan aku membocorkan teka-teki tidak bermakna ini. Akulah yang mengarang setiap kalimat dalam surat-suratku. Aku pula yang mengarang bagaimana gadis itu membalas suratku. Surat-surat ini pun tidak pernah aku kirim sama sekali, cukup menjadi catatan hitam dalam buku harianku.
Gadis itu, sudah mati dalam kecelakaan mobil di Jalan Braga, Bandung,tanggal 29 Januari. Selang enam bulan sebelum aku membuat karangan akan rindu-rindu dan kalimat-kalimat palsu, seakan balasan surat itu berasal dari tulisan tangan gadis itu.


ditulis oleh: bardjan triarti

1 comment: